TOPRIAU|Ada yang berbeda dari suasana Nagari Kamang Hilia hari ini. Jalanan yang biasanya tenang, kini penuh dengan warna-warni budaya.
Anak-anak mengenakan baju adat, para ibu membawa talam berisi makanan tradisional, dan suara talempong menggema di udara.
Semua ini bukan tanpa alasan — warga sedang memperingati 117 tahun Perang Kamang, salah satu peristiwa heroik dalam sejarah Minangkabau.
Bukan cuma sekadar peringatan, acara ini jadi ajang “balik kampuang” yang hangat, sekaligus panggung budaya yang menyentuh hati.
Dengan tema “Manjunjung Talam dan Manjinjiang Pinggan”, perayaan ini jadi simbol hidupnya kembali semangat gotong royong dan cinta nagari.
Perang Kamang: Bukan Sekadar Catatan Sejarah
Perang Kamang terjadi pada tahun 1908 sebagai bentuk perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajahan Belanda, khususnya atas kebijakan pajak yang menindas.
Tokoh adat dan ulama bersatu dalam semangat mempertahankan martabat. Meski kalah secara militer, perlawanan ini menunjukkan bahwa kekuatan nagari terletak pada persatuan dan harga diri.
Hari ini, 117 tahun kemudian, semangat itu kembali dikobarkan—bukan dengan senjata, tapi dengan kebudayaan dan kebersamaan.
Pawai Budaya yang Penuh Warna dan Makna
Dari pagi, warga sudah memadati jalan utama. Arak-arakan budaya mengalir seperti sungai sejarah yang kembali menghidupkan masa lalu.
Pelajar tampil dengan pakaian adat lengkap, tokoh adat ikut berjalan, dan bundo kanduang anggun membawa pinggan sebagai simbol penghormatan pada tradisi.
Tak ketinggalan atraksi silat, randai, hingga talempong menambah semarak suasana. Bahkan wisatawan lokal dan luar daerah ikut larut dalam euforia budaya yang autentik ini.
Suara Tokoh Nagari: Ajakan Merawat Budaya
Dalam sambutannya, Wali Nagari Kamang Hilia, Drs. Eryanson, menegaskan pentingnya makna sejarah bagi masa depan.
“Perang Kamang adalah simbol keberanian urang awak. Hari ini, kita hidupkan kembali semangat itu dengan menjaga nilai-nilai budaya kita,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bundo Kanduang Kamang Hilia, Nurhayati, S.Pd, memberi penekanan penting tentang peran perempuan dalam merawat tradisi.
“Kaum perempuan harus merawat adat di tengah gempuran zaman digital,” tegasnya, menyentil pentingnya peran generasi muda dalam melestarikan warisan budaya.
Mengheningkan Cipta: Mengenang Para Pejuang
Satu momen yang paling menyentuh adalah penghormatan kepada para pahlawan Perang Kamang. Nama-nama para pejuang dibacakan di depan monumen peringatan.
Semua hadirin berdiri khidmat, mengenang keberanian mereka. Tak sedikit yang menitikkan air mata.
Acara lalu dilanjutkan dengan makan bajamba, tradisi makan bersama yang mempererat rasa kekeluargaan dan semangat kolektif ala Minangkabau.
Perayaan yang Bukan Sekadar Seremonial
Yang menarik, acara ini bukan hanya tentang nostalgia. Ini adalah cara warga Kamang Hilia menghidupkan kembali semangat perjuangan dengan cara yang membumi: melalui seni, adat, makanan, dan cerita.
Budaya tidak ditampilkan sebagai barang museum, tapi dirayakan sebagai bagian dari hidup sehari-hari.
Bagi generasi muda, acara ini menjadi pengingat bahwa perjuangan tidak selalu harus lewat perlawanan fisik.
Hari ini, perjuangan berarti menjaga adat, menghidupkan nagari, dan merawat warisan dengan kreatifitas dan kebersamaan.*** (Rafika Santi)