OPINI
Oleh: Dewi Soviariani
Ibu Dan Pemerhati Umat
Topriau – Minyak Kita adalah merk minyak goreng harapan masyarakat. Dengan harga yang terjangkau ia menjadi produk incaran kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah. Namun apa jadinya kalau harga Minyak Kita tidak lagi murah? Kemana masyarakat bisa memenuhi salah satu kebutuhan pokok ini?
Dari bumi lancang kuning sebagai salah satu daerah perkebunan sawit terbesar di Indonesia, dikabarkan harga Minyak Kita semakin melambung harganya. Seperti berita yang di liput oleh TRIBUNPEKANBARUTRAVEL.COM – Dikabarkan harga eceran tertinggi (HET) Minyakita baru akan naik pekan depan, di Pekanbaru harga minyak goreng tersebut sudah melambung.
Di beberapa wilayah bahkan harganya sudah melambung lebih dulu. Seperti daerah kecamatan Rumbai, dituturkan oleh salah seorang warganegara yang bernama Nova. Ia mengaku kaget akan kenaikan harga tersebut. Karena dalam waktu singkat harga Minyak Kita melonjak. Padahal 2 Minggu sebelumnya ia membeli ukuran 2 liter tidak sampai 30.000, namun kini sudah melambung menjadi 33.000 per 2 liter.
Pemerintah daerah sendiri belum resmi menaikkan harga Minyak Kita di pasaran, namun dikalangan pedagang harga sudah tinggi lebih dulu. Mau tak mau masyarakat harus tetap membelinya. Minyak kita satu satunya minyak goreng yang masih dapat dijangkau masyarakat harganya. Kalau sampai harga tidak kembali normal maka beban masyarakat semakin berat saja dalam memenuhi kebutuhan pokok.
Sungguh heran dan tak masuk akal memang. Perkebunan sawit terbentang ribuan hektar harga minyak goreng semakin mahal. Apa yang salah dengan bangsa ini? Apalagi sekelas Minyak Kita yang selama ini harganya pro rakyat jelata kini semakin merangkak naik.
Sampai saat ini belum ada klarifikasi pemerintah terkait mahalnya harga Minyak Kita. Seolah hal biasa masyarakat dibiarkan sendiri menyelesaikan persoalan naiknya harga minyak goreng murah tersebut. Negara abai untuk mengurus permasalahan ini.
Inilah dampak penerapan sistem Kapitalisme yang diadopsi negara agraris yang kaya SDA ini. Akibat kapitalisasi, SDA dikuasai oleh korporasi. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi para oligarki sehingga pengaturan kebutuhan rakyat tidak pro rakyat.
Negara juga absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan sehingga para spekulan/mafia pangan—yang notabene sebagiannya korporasi pangan itu sendiri—menjadi tumbuh subur. Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah.
Tak sampai di situ, penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh pedagang besar semakin memperparah melambungnya harga. Sidak pasar tak efektif karena hanya menjaring pedagang kecil yang juga terdampak dari ketidakstabilan harga. Pemerintah dalam hal ini gagal dalam menjangkau kestabilan harga pangan yang sangat dibutuhkan rakyat.
Inilah paradigma Kapitalisme. Dengan prinsip good governance dalam negara neoliberal, ketika lembaga negara BUMN/BUMD hadir untuk menstabilkan harga pangan, kehadirannya justru sebagai korporasi yang bertujuan mencari untung. Tak heran ketika saat ini BUMN/BUMD bertransformasi menjadi holding company dan bertujuan memperbesar keuntungan, bukan lagi melayani hajat rakyat.
Bahkan hukum pun tak menindak tegas bagi pelaku mafia pasar. Pada akhirnya mereka terus beroperasi harga pangan semakin tak terkendali. Lagi- lagi rakyat yang harus gigit jari. Harga pangan melambung tinggi kesejahteraan jauh dari harapan.
Kapitalisme yang telah menggurita, merusak semua lini kehidupan. Masyarakat dilemahkan dengan keterbatasan ekonomi, sementara para oligarki dan korporasi mendapat karpet merah, mereka terus meraup rupiah. Apalagi paradigma yang digunakan pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga sekadar menurunkan angka inflasi bukan memikirkan solusi bagaimana rakyat dapat sejahtera. Inilah watak sesungguhnya ekonomi neoliberal dalam kubangan Kapitalisme yang serakah.
Kapitalisme harus segera ditinggalkan agar bangsa ini dapat mewujudkan kesejahteraan hakiki. Sebagai negeri mayoritas muslim saatnya bertransformasi kepada syariat Islam sebagai sistem kehidupan. Islam memiliki mekanisme terperinci untuk mengatasi dan mencegah terjadinya lonjakan harga.
Islam pernah menjadi negara adidaya yang begitu kuat dengan sistem ekonomi dan politik Islam. Dalam pandangan Islam negara adalah perisai serta penanggungjawab akan kesejahteraan masyarakat. Kunci kestabilan harga terletak bagaimana peran dan fungsi negara dalam mengurus permasalahan ini.
Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari)
Juga hadis lainnya, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Dalam mekanisme yang dijalankan oleh negara Islam. Sistem ekonomi yang anti ribawi akan diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Penimbunan, pelarangan praktik tengkulak, kartel dsb dicegah dengan menjaga rantai tata niaga, yaitu menghilangkan distorsi pasar. Disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.
Dalam rangka untuk menjaga stabilitas harga, negara mengawasi ketersediaan stok pangan supaya supply and demand stabil, di antaranya dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, ataupun dengan impor yang memenuhi syarat sesuai panduan syariat.
Penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit akan menjadikan minyak mudah didapat dengan harga murah. Inilah paradigma yang akan terjadi jika Islam diterapkan dalam ranah negara. Minyak goreng murah bukan sekedar impian belaka, apalagi timbul tenggelam dan tidak merata untuk diperoleh masyarakat.
Islam menjamin ketersediaan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Artinya, sebagai pelindung rakyat, negara harus hadir menghilangkan dharar (bahaya) di hadapan rakyat, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Negara Islam tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak.
Begitu banyak kontradiksi antara sistem kehidupan Islam dan Kapitalisme. Sudah saatnya kita melihat lebih jelas bagaimana kerusakan yang terjadi selama penerapan Kapitalisme dalam kehidupan kita. Layaknya ia rumput liar yang harus dicabut hingga ke akar agar tidak merusak fitrah manusia. Kapitalisasi pasar, SDA dan hegemoni penjajahan ekonomi dibawah cengkeraman Kapitalisme harus diakhiri. Kita kembali pada kehidupan Islam sebagai solusi hakiki yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Wallahu A’lam Bishawwab